TABRAKAN Bagian I

Ayam berkokok tak lagi terdengar. Embun pagi tak lagi nampak menetes di ujung daun. Suara motor lalu lalang dan ibu-ibu pulang dari pasar yang saling mengobrol terdengar bersautan. Pagi menjelang siang hari ini di desa paling ujung pulau jawa tak seperti omongan orang. Yang katanya sepi karena penghuninya tak seramai di kota.

Suparni, lelaki kepala empat. Orang asli desa ujung yang baru pulang ke kampung halaman bersama keluarganya dua hari ini. Ia baru terbangun dari tidur dan hendak mengambil handuk. Ingin mandi. Hal itu Ia lakukan karena di dasari rasa gatal badannya. Wajar. Ia tak kena air dengan keinginan sendiri sudah dua hari, kecuali hujan kemarin yang mengguyurnya ketika hampir sampai di depan kampung yang tentu tak diingininya sama sekali. Badannya yang saat itu kuyup oleh hantaman air tuhan, tak juga dibilasnya ketika sudah sampai kampungnya. Akibatnya baru terasa sekarang. Gatal bukan main, sehingga ia terbangun dari tidur yang baru terasa pulas menjelang subuh tadi. Ia pun bergegas ke kamar mandi, berniat mengobati siksaan yang diakibatkan kemalasannya membersihkan diri.

Kini Ia telah berjalan ke kamar mandi. Sembari melangkah batinnya tak henti mengutuk hujan kemarin yang menjatuhinya tanpa ampun.

Pintu kamar mandi ditutup. Celana kolor dan kaos oblong partai di lepasnya. Guyuran pertama perlahan Ia jatuhi dari atas kepala. Segar bukan main. Selanjutnya guyuran-guyuran lain mengikuti dengan tempo yang kian lama kian cepat. Tiba-tiba terdengar teriakan diikuti langkah kaki seseorang berlarian.

"Tabrakan! Ada tabrakan di pasar!" ujar seseorang memberikan pengumuman ke pada satu desa.

Suparni yang mendengar hal itu kaget bukan main. Hal itu kerena tragedi tabrakan belum pernah Ia temui langsung selama hidupnya. Ditambah lagi hal itu terjadi di kampung halamannya. yang tentu belum lagi terjadi selama 4 dekade hidupnya. Terakhir ia mendengar tabrakan di kampungnya dari cerita ayahnya ketika masih muda. Tabrakan antara sesama sepeda ontel yang memakan korban satu diantaranya. Cerita tabrakan yang Ia dengar itupun bahkan terjadi ketika Suparni belum dilahirkan.

Buru-buru Ia keluar dari kamar mandi. Menyudahi mandinya yang tak selesai, bahkan setengahnya pun belum. Ia lingkarkan handuk di tubuhnya. Namun dadanya yang berbulu tipis tak tertutupi oleh handuk tersebut. Ia segera keluar rumah kemudian langsung berteriak.

"Hei! Tabrakan apa!? Ada yang mati no?" ujarnya kepada si pengumum yang terlihat kelelahan karena berlarian dari pasar. Orang itu adalah Karno, tetangga samping rumahnya.
"Motor sama mobil. Dua orang laki-laki mati ni,"ujar Karno yang menjawab dengan tergesa.

Mendengar penjelasan Karno tersebut Suparni lari sekuat tenaga menuju pasar. Kaget bukan kepalang. Ia langsung teringat anaknya yang berusia belasan dan satu anak saudaranya yang pagi tadi meminta izin memakai motor keliling kampung. Jantungnya pun berdegup kencang ketika melihat dari jauh kerumunan orang di pasar. Perih di hatinya muncul tiba-tiba bersamaan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Pikirannya sudah terbayang dua anak lelaki yang berpamitan pagi tadi padanya.

Ketika sampai di kerumunan orang tersebut tangannya langsung bersiap mengambil posisi menerabas setiap pundak yang menghalangi penglihatannnya. Namun hal itu urung dilakukan ketika satu kalimat Ia dengar.

"Bukan ... bukan Ocon" ujar seorang berperawakan miripnya. Orang tersebut adalah kakaknya. Helaan napas panjang langsung keluar bersamaan dengan rasa cemas dan perih dihatinya. Batinnya tak henti-hentinya berdoa dan berterima kasih saat itu juga. Ternyata bukan anaknya dan anak saudaranya.
---

Dingin menusuk kulit, membuat gemetar badan karena menggigil terkena embun yang ikut terbawa angin pagi. Di ujung timur matahari belum berniat menunjukkan pesonanya, namun Ocon sudah memiliki tekad yang bulat untuk keliling kampung dengan sepeda motor ayahnya, bersama rendi --saudara lelaki dari ibunya. Motor supra lama menyala setelah diengkalnya tak lebih dari tiga kali. Suara bising keluar bersamaan dengan kokok ayam jago milik tetangga. Lima menit Ia mainkan gas motor yang tak dimasukkan gigi. Berlaga seperti Valentino Rossi yang hendak menunggu tembakan sebelum balapan dimulai. Kemudian Ia menyudahi adegan tersebut setelah motornya di rasa cukup panas, disuruh lah Rendi untuk segera naik. Tak sabar hati Ia hendak keliling kampung, keinginanannya telah memuncak untuk memanjakan mata dan melihat apakah ada perubahan terhadap kampungnya yang telah dua tahun Ia tinggalkan.

Ocon pun sudah puas mengelilingi kampung selama tiga jam lebih dan juga puas bertemu dengan teman-teman lamanya. Semuanya. Walau beberapa hanya mengobrol untuk bertukar kabar sejenak di pinggir jalan.

Kini Ia mengajak Rendi utnuk mampir ke pasar kampungnya, hendak melihat adakah yang berubah. Begitu sampai di pasar matanya tak hentinya menilik semua yang bisa dilihatnya. Dua tahun lebih Ia tak mengunjungi pasar namun tak sedikitpun ada yang berubah. Kecuali pedagang asongan yang telah memiliki gerobak dorong modifikasi yang lebih terlihat seperti sebuah warung. Setelah sepuluh menit berdiri sembari melihat lalu lalang pasar. Kini kakinya melangkah menuju sebuah gazebo di dekat pos security. Kemudian ditepuknya pundak seorang lelaki, usianya 40 tahunan lebih.

"Paman, nunggu apa?" ujar Ocon.

"Gaada, kalian berdua ngapain?" ujar Supomo yang merupakan kakak dari ayah Ocon.

Obrolan pun berlangsung, namun baru sebentar obrolan tiba-tiba terhenti. Dentuman keras seperti bom terdengar seketika. Kemudian suasana pasar yang semula ramai terhenti sejenak sebelum menjadi tak karuan. Semua segera berlari ke arah ledakan, hendak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tak sampai satu menit pengunjung juga pedagang telah berkumpul. Ibu-ibu tak hentinya menjerit melihat kejadian di depan matanya. Anak-anak kecil segera menjauh setelah seorang bapak-bapak meneriaki jangan ada yang berkumpul. Kejadian waktu pagi menjelang siang hari di depan pasar yang mungkin akan dikenang sepanjang satu dekade ke depan. Tabrakan motor dan mobil yang menewaskan dua orang. Dua lelaki mati, satu dengan tubuh yang tak lagi bisa dikenali, satu lagi dengan wajah yang hancur setengah lebih. Menyedihkan.

Ocon dan Rendi berada di garis terdepan melihat kondisi tersebut. Perutnya dibuat mual karena melihat darah segar yang sangat kental mengalir di depan matanya.

Entah siapa yang memulai perbincangan mayat itu dirapikan, di masukkan ke sebuah kantung. Bagian-bagian tubuh yang berserakan dikumpulkan dan darah kental segar yang ada di jalan di siram dengan air. Beberapa orang sibuk menyatukan bagian-bagian tubuh, beberapa yang lain berdebat menebak pengemudi mobil yang menghilang.

Setelah semua terkumpul tak ada satupun yang bersegera membawa dua lelaki yang tak bernyawa itu ke puskesmas -karena tak ada rumah sakit besar di kampung tersebut.

Waktu seakan berhenti cukup lama. Suasana terasa semakin hening karena tak ada juga orang yang berinisiatif mengantarkan ke puskesmes, semuanya hanya saling tatap menatap. Sampai satu orang berkacamata dengan tenangnya membelah kerumunan. Langsung menuju mobil tabrakan tersebut dan segera menyalakan mobil karena diketahui kuncinya masih menyantol di dalamnya.

Mobil pun langsung melesat membawa korban tabrakan ke puskesmas.

Ocon, Rendi dan beberapa warga pasar yang tadi berkerumum ikut mengawal mobil tersebut sampai ke puskesmas. Korban langsung di bawa ke ruangan Jenazah ketika sampai. Dokter pun langsung mengeluarkan satu persatu bagian yang tak lagi bisa dikenali milik korban yang mana. Sementara itu orang-orang termasuk Ocon dan Rendi bergantian melihat dari jendela puskesmas yang tidak terlalu besar.

Setelah merasa puas melihat kedua jenazah tersebut Ocon dan Rendi pun menyingkir dari jendala. Hari sudah semakin siang ketika itu dan Ia berdua berniat pulang. Kakinya segera melangkah menuju parkiran motor yang ada di samping puskesmas. Namun baru saja hendak melangkah Ocon dan Rendi dihentikan oleh seorang anak. Anak tersebut menggerakkan tangannya dengan mulut yang menganga tanpa suara. Ocon dan Rendi kemudian hanya saling tatap. Tidak mengerti. Anak itu mengulangi lagi gerakannya. Akhirnya Ocon dan Rendi menyimpulkan bahwa anak yang di depannya itu gagu. Dengan gesture yang terus di ulang-ulang Ocon dan Rendi pun mengerti. Anak tersebut penasaran dengan apa yang ada di dalam. Ia pun menjelaskan secara singkat kejadiannya.

--

Randi mencermati dengan baik. Sesekali kepalanya mengangguk tanda Ia mengerti. Ia segera masuk ke dalam selepas dua orang yang diberhentikannya di depan pintu puskesmas selesai bercerita.

Di dalam orang-orang terlihat berkerumum di depan jendela salah satu kamar yang tak memiliki hordeng. Di dasari rasa penasaran yang begitu besar Ia pun langsung menerobos kerumuman orang-orang tersebut. Dengan badannya yang kurus kecil tak perlu Ia bersusah payah untuk menempatkan dirinya berada di paling depan.

Rasa ngilu menghampiri dirinya ketika melihat seorang dokter sedang berusaha menyambungkan bagian-bagian tubuh yang tak lagi berbentuk. Pemandangan yang tak pernah Ia jumpai seumur hidupnya --Walau umurnya masih tiga belas tahun. Kini Isi perutnya mulai memberontak ingin keluar melihat sebuah jarum keluar masuk dengan sembrono ke daging yang tak lagi berbentuk tersebut. Namun Ia tak segera pergi juga. Lima belas menit sudah Ia berdiri di depan jendela tersebut. Melihat pemandangan yang barang kali tak lagi ada selama satu dekade ke depan. Orang-orang yang tadi ramai berkerumum di depan jendela satu persatu sudah kembali ke rutinitas mereka. Kini yang tetap tinggal di depan jendela bisa dihitung dengan jari.

Dokter terlihat selesai dengan mayat pertama, Ia pun menuju korban satu lagi yang ditutupi kain. Ia mulai membuka kain tersebut, setelah selesai menyambungkan bagian-bagian tubuh korban pertama.

Kain pun dibuka, korban kedua yang wajahnya hanya tersisa setengah kini terlihat.

Randi seketika berteriak keras dengan Bahasa yang hanya dimengertinya, matanya berkaca-kaca dan langsung keluar air mata yang segera menganak sungai. Ia pun masuk ke dalam ruangan, mengabaikan tulisan 'yang tak berkepentingan di larang masuk' di depan pintu dan pandangan orang-orang terhadap dirinya.

Ia mencoba memeluk mayat tersebut, namun dokter dengan sigap menahannya.

---- 
Bersambung ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belum ada judul

buah dari yang lalu

Dari Semua Pria, Aku Yang Juara